Akhirnya BBM naik juga..
Setelah melewati berbagai macam pembahasan yang diwarnai rentetan unjuk rasa mahasiswa maupun buruh dan juga tidak ketinggalan pemasangan poster menolak kenaikan BBM dari partai politik, harga BBM tetap diputuskan naik.
Kenaikan BBM ini tentu saja berdampak cukup luas terhadap roda perekonomian di tanah air, belum lagi jika di bawa-bawa ke ranah politik. Tapi jika melihat bahwa mau tidak mau pemerintah tetap menaikkan harga BBM, menurut penilaian saya ini adalah pengambilan keputusan yang tepat di waktu sekarang.
Kenapa saya bilang keputusan yang tepat?
Saya coba ambil pendekatan dari sisi psikologi ekonomi, istilah saya sendiri sih.. :). Maksudnya kalau dilihat dari sisi ekonomi, imbas kenaikan harga BBM ini pasti sangat mempengaruhi pergerakan harga-harga yang lain terutama sembako. Nah, fenomena secara psikologis atau yang saya istilahkan psikologi ekonomi tadi kira-kira adalah persepsi orang dan reaksinya terhadap perubahan ini.
Kita coba lihat reaksi orang-orang menjelang kenaikan BBM. Antrian panjang orang di SPBU terjadi di mana-mana. Sebagian yang ikut antri adalah para demonstran yang menolak kenaikan BBM, lha kok ikut ngantri juga? :)
Kalau dilihat dari faktor ekonomi coba kita hitung, efek kenaikan adalah 2.000 rupiah. Motor isi penuh sekitar 4 liter, untuk motor besar sekitar 10 liter. Jadi efek ekonomisnya hanya sebesar 8.000 - 20.000 rupiah saja, hanya senilai sebungkus dua bungkus rokok, tidak senilai dengan usaha untuk antri panjang. Nah, inilah yang saya sebut tadi faktor psikologi ekonomi. Beda dengan para penimbun yang murni memanfaatkan faktor ekonomi.
Jadi apa hubungan efek psikologis ini dengan judul di atas?
Coba kita lihat benang merahnya. Kita tinggal menghitung hari untuk memasuki bulan Ramadhan dan disusul dengan Hari Raya Idul Fitri. Seperti sudah menjadi tren musiman bahwa menjelang lebaran harga kebutuhan bahan pokok akan cenderung naik dan orang-orang pun akan mempersiapkan diri. Secara psikologis, kenaikan harga sembako pada menjelang lebaran sudah dianggap hal wajar dan sisi konsumtif dari manusia akan mengabaikan hal itu. Pulang mudik setahun sekali dengan biaya tambahan karena tuslah tidak menjadi masalah buat mudikers.
Nah, sekali lagi saya katakan bahwa keputusan menaikkan harga BBM saat ini diambil pada waktu yang tepat. Dengan menaikkan harga BBM di saat memang “wajar” harga-harga kebutuhan pokok naik akan mengkamuflase dampak kenaikannya secara psikologi ekonomi tadi. Coba kita bandingkan jika BBM naik setelah lebaran nanti, efek secara psikologis akan terjadi dua kali lipat kenaikan secara berantai, di saat budget cadangan untuk hari raya sudah habis.
Efek lain kenaikan menjelang lebaran mungkin akan berimbas positif terhadap berkurangnya pemudik yang menggunakan sepeda motor yang kalau kita lihat catatan laka lantas saat mudik tahunan paling banyak terjadi korban pengendara sepeda motor. Mungkin orang akan coba transportasi lain seperti kereta atau bus yang memang tarifnya lebih tinggi karena tuslah meskipun BBM tidak naik.
Sebenarnya ada satu lagi efek yang berefek ke saya pribadi. Setelah diumumkan semalam bahwa BBM naik, pagi-pagi saya keluarkan sepeda. Ternyata ban kempes…
Yah…jadi ingat kalau sudah 3 mingguan tidak pernah menyentuh si B!anchi beureum. Jadi memang tepat keputusan menaikkan harga BBM saat ini, biar saya bisa kembali bersemangat muter bareng bini kedua yang ndak perlu minum BBM ^_^