Wednesday, November 25, 2015

Kenapa Pindah Dokter atau Rumah Sakit?

BY HUM IN , No comments

Tenaga Medis (Source: shiftindonesia.com)

Kemarin saat si Jagoan Kecil sakit mata, saya segera bawa ke dokter spesialis di RS yang biasa kami kunjungi. Tapi ternyata kali ini sedikit kecewa, sampai di sana ternyata dokter baru saja selesai praktik. Bagian pendaftaran sempat bertanya, "tadi belom daftar dulu ya, Pak?" Dengan tampang sok cool saya jawab, "kalau dari tadi mBak angkat telpon, saya pasti sudah terdaftar dan pesan ke mBak minta Pak Dokternya tunggu sebentar, apalagi saya datang sebelum jadwal dokter berakhir lho..!?" Kebetulan saat itu telpon di sampingnya sedang berdering dan si mBak dengan malu-malu sambil meringis mengangkat telpon yang sudah berdering dari tadi.

Karena dokter praktik berikutnya masih lama dengan embel-embel belum bisa dipastikan praktik atau tidak, akhirnya saya segera memutuskan untuk pindah RS. Telpon ke salah satu RS terdekat, langsung nyambung, langsung daftar dan langsung meluncur ke sana.

Ucapan saya tadi bukan cuma bluffing atau isapan jempol semata, karena dari 2 jam sebelum sampai RS sudah coba telpon berkali-kali ke bagian rawat jalan RS tadi dan tidak ada yang ngangkat. Dua kali nyambung ke operator kemudian di arahkan ke bagian pendaftaran rawat jalan, sampai telpon mati sendiri tetap tidak ada yang angkat. Istri yang coba telpon juga dari kantor sama saja, nihil. Kebetulan telpon bisa koneksi ke perangkat di mobil sehingga tetap aman berkendara sehingga bahkan sepanjang perjalanan dari rumah ke RS saya coba telpon terus tetap tidak ada yang angkat.

Pada tulisan sebelumnya saya sempat menulis tentang RS dan dokter yang bekerja dengan hati, bisa dibaca di sini (Dok, Bekerjalah dengan Hati) dan di sini (Cara Rumah Sakit Siloam Tangani Pasien BPJS). Hal-hal yang saya tulis itu adalah hal yang membuat kita balik lagi ke RS atau dokter yang sama, tentunya ketika kita membutuhkan pertolongan atau saat sakit saja, karena semua orang tentunya mau sehat, kan?

Tapi dari pengalaman di atas tadi, saya jadi ingat beberapa kunjungan ke RS dan dokter yang membuat kami harus pindah tempat. Apa saja sih hal-hal yang bisa membuat kita berpaling ke lain hati? Saya coba ulas beberapa hal versi saya dari pengalaman pribadi.

Tenaga Non Medis RS yang Kurang Profesional 
Salah satu contoh seperti kasus cerita di atas, pelayanan yang buruk dari tenaga non medisnya. Kondisi pasien bisa bermacam-macam kategorinya. Ada yang gawat darurat butuh pertolongan cepat, hanya kontrol kesehatan pasca sakit atau kontrol kandungan berkala sampai dengan sekedar imunisasi buat anak. Masing-masing mempunyai tingkat urgensi yang berbeda-beda. Fungsi hotline telpon untuk emergency maupun pendaftaran rawat jalan sangat berguna buat pasien. Apa jadinya jika kita sudah coba telpon berkali-kali tapi no respons dan begitu sampai RS ternyata.... Zonk...!?

Untuk pasien yang punya banyak waktu, baik hati dan tidak sombong mungkin akan bersedia menunggu dokter berikutnya datang. Tapi bagaimana jika kondisi emergency? Memang masih ada bagian IGD, jika mau langsung ditangani dokter jaga. Bagi sebagian orang mungkin akan seperti pilihan saya tadi, telpon ke RS lain dah pindah tempat segera. Mungkin tidak balik lagi ke RS tersebut. Lebih gawat lagi cerita-cerita ke orang lain tentang pengalamannya yang kurang bagus seperti saya ini...:D

Manajemen RS yang Buruk 
Manajemen dari RS memang sangat menentukan kualitas pelayanan buat pelanggan. Pernah atau sering harus antri dokter atau obat di apotik RS? Jika antri karena banyak pasien mungkin kita masih bisa maklum, tapi bagaimana kesalnya kita ketika lama menunggu tanpa terlihat banyak antrian? Yang membuat lama bisa jadi masalah birokrasi maupun lambatnya pelayanan.

Saya pernah punya pengalaman "terpaksa kabur" setelah cek dokter karena tidak tahan menunggu selesainya obat dari apotik RS. Lamanya pelayanan ini bukan hanya dialami satu dua orang saja karena konon kabarnya ada juga yang melakukan aksi kabur seperti saya, entah alasannya sama atau tidak. Alih-alih memperbaiki kecepatan pelayanannya, manajemen RS malah menerapkan aturan yang super duper aneh, setiap pasien wajib meninggalkan KTP di pendaftaran dan diambil setelah selesai. Buat jaminan biar nggak kabur, gitu kali ya..?! Untung saya dah keburu kabur dan nggak pernah balik-balik lagi ke situ #hihi

Tarif yang Mahal 
"Murah kok njaluk slamet", begitu mungkin ungkapan sarkastik yang kadang harus kita telan. Biaya medis dan obat-obatan untuk kesehatan kita ternyata mahal harganya. Padahal pemerintah kita sedang gembar-gembor tentang jaminan kesehatan gratis, semoga bisa terwujud ya? Aamiin. Yang saya coba angkat di sini adalah harga obat atau tarif RS yang "lebih mahal" dari seharusnya. Bisa dengan komparasi pelayanan atau kelengkapan alat-alat yang digunakan maupun harga obat-obatan. Dengan mudah kita bisa browsing segera obat-obatan yang ada di resep dokter dan tahu harganya. Pengalaman kami dan beberapa teman di salah satu RS yang pernah saya kunjungi ketika dibandingkan ternyata harga obatnya lebih mahal dan bukan kebetulan di sebelah RS persis ada sebuah apotik umum.

Jadi yang kami lakukan adalah berobat, bayar dokter kemudian ambil resep dan beli di apotik sebelah. Alih-alih mengevaluasi harga obat-obatan di RS tersebut, pihak manajemen malah menerapkan sistem satu pintu, jadi bayar dokter sama obat jadi satu untuk mencegah pasien kabur ke apotik sebelah. Kami pribadi memilih untuk tidak kabur ke apotik sebelah, tapi kabur tidak periksa ke RS itu lagi #hihi. Padahal di RS tadi ada satu dokter anak yang cukup bagus dan komunikatif. Mengenai birokrasi RS dan mahalnya obat-obatan di RS ini pernah kami diskusikan dengan Bu Dokter tersebut yang bingung juga jawabnya #haha. Kabar terakhir Bu Dokter ikut kabur juga dari RS tersebut. Kemarin sempat menyapa saat ketemu di RS yang kami kunjungi saat periksa mata Si Jagoan Kecil.

Fasilitas yang Minim 
Fasilitas di sini bisa saya kategorikan menjadi fasilitas medis dan non medis. Fasilitas medis misalnya peralatan untuk cek dokter maupun lab. Ketika diskusi dengan dokter biasanya kalau perlu kami juga minta uji lab sebagai referensi dan untuk lebih yakin kondisi yang dialami. Hal ini juga mempermudah dokter dalam diagnosa sekaligus bisa jadi bahan diskusi. Fasilitas pendukung medis yang kurang lengkap menjadi salah satu pertimbangan kami untuk pindah ke RS yang lebih komplit. Meskipun kelengkapan sarana penunjang medis juga tergantung dari besar kecilnya tingkat RS.

Fasilitas lain yang masuk kategori non medis misalnya tempat parkir. Dari pengalaman, hampir setiap RS yang pernah kami kunjungi bermasalah dengan tempat parkir. Entah karena saking banyaknya pengunjung atau memang lahan yang terlalu sempit. Pernah pengalaman saat nengokin teman yang lahiran anak, agak shock ketika harus parkir muter-muter naik gedung dengan alur yang sempit dan kapasitas tiap lantai parkir sangat minim. Terlihat tembok di tiap tikungan ada bekas baret-baret kecium bumper mobil #hadeh. Ternyata dari cerita teman yang kami kunjungi, dia memilih parkir di gedung sebelah bukan di RS tersebut meski nginapnya di RS tersebut #loh

Dokter yang Kurang Komunikatif 
Pelayanan pelanggan merupakan kekuatan dari RS meskipun fungsi utama yang lebih berperan pada gilirannya adalah tenaga medisnya baik dokter maupun perawat. Ada pengalaman dulu saat si Kakak masih bayi. Kalau bernapas grok...grok seperti pilek. Kita bawa ke dokter anak di RS dekat rumah. Setelah dapat giliran masuk ruangan periksa, dokter langsung cek ini itu trus tulis ini itu juga...kasih resep tanpa babibu... Sudah....

Lha anak saya ini sakit apa? Kami mau diskusi Dok....bukan minta obat trus...selesai. Bisa jadi setelah minum obat sembuh, tapi edukasi buat proteksi selanjutnya bagaimana? Apa memang mesti ke dokter lagi? Dengan bengong dan memang sudah illfil, kita nggak pengen tanya-tanya lagi. Lihat resep trus browsing, ternyata dikasih obat pilek. Yo wis lah....mungkin flu biasa.

Setelah seminggu lebih kok belum ada tanda-tanda sembuh akhirnya kita konsultasi ke dokter ke RS lain. Dokter kali ini berbeda. Diskusi panjang lebar mewarnai sesi cek Si Kakak. Dari hasil diskusi, diagnosa dokter mengarah ke alergi susu sapi. Dan sekali lagi dokter tidak men-judgement langsung, jadi perlu observasi dan bukan dokter yang akan melihat tapi kita sendiri sebagai orang tua yang akan lebih tahu karena terlibat langsung berinteraksi dengan si Kecil. Ternyata orang tua itu lebih hebat lho dari dokter spesialis sekalipun. Itu kata dokter kami tadi.

Dokter Cowboy - Hajar Bleh.. 
Cerita lain ketika saya masih jomblo, dulu saat awal kerja. Secara history saya punya alergi kulit terhadap lingkungan baru. Hampir sama saat dulu pertama kali kuliah dan kost, kulit tiba-tiba luka sana-sini mengelupas. Singkat cerita datang ke dokter kulit tapi bukan konsultasi kelamin lho ya.. :D

Dengan berapi-api dokter langsung nyerocos. Ini kena serangga. Anak kost ya? Tidur kasur di lantai? Males bersih-bersih? Jarang mandi.? 

Meski pernyataan sang dokter banyak benarnya tapi ya jangan gitu donk, kasih kesempatan pasien buat menjelaskan keluhannya. Karena kurang puas dengan sang dokter beberapa hari kemudian coba ke RS lain. Pas dapat giliran masuk ruangan... Ohh.. No.. Ternyata dokternya sama dengan yang kemarin #tutupmuka. Tapi ternyata sang dokter lupa dengan saya karena langsung beraksi sama, bicara panjang lebar..dan sekali lagi sama persis diagnosanya... Serangga..!! 

Akhirnya coba pindah lagi ke RS lain. Kali ini lebih hati-hati dan teliti melihat siapa dokternya #kalem. Ketemulah dengan dokter spesialis kulit dan kelamin... Ibu Dokter.. :) Dengan ramah dan sistematis Bu Dokter berdiskusi untuk mendiagnosis penyakit saya. Untuk memperkuat diagnosa disarankan untuk melakukan skin test. Dari hasil diskusi dengan Bu Dokter tadi akhirnya sampai sekarang saya tahu trend yang muncul dan bisa mengantisipasi ketika keluhan datang. Sayang masalah yang mesti di cek Bu Dokter tadi bukan kulit di bagian kelamin yak... #ehh

Dokter dan Apotik yang Konservatif 
Pernah saat kami sekeluarga sedang berlibur ke kampung halaman. Tiba-tiba si kakak badannya panas dan mulai muncul bintik-bintik berair di badannya, cacar air. Segera kita bawa ke dokter anak yang buka praktek di rumahnya. Setelah cek ini itu dan karena jelas sakitnya kita tidak banyak diskusi. Resep dari dokter kita ambil di apotik sebelah. Agak aneh ketika mendapati botol sirup obat yang polos tanpa label lagi karena sengaja dilepas, diganti tempelan manual. Kata kakak saya, "itu memang biasa di sini, biar orang tidak tahu itu obat namanya apa dan tidak beli sendiri tapi datang lagi ke dokternya." #duh. Padahal di tutup botol masih ada tulisan kecil nama obatnya yang bisa dengan segera kita cari tahu dengan tanya ke mBah Gugel #hehe.

Masih ada lagi cerita tentang dokter di kampung halaman yang konservatif juga. Ketika "terpaksa" di rawat di kampung, saya coba untuk diskusi dengan dokter tentang progress kondisi saya. Tentu saja berbekal smartphone di tangan berbagai informasi saya coba gali terkait penyakit yang menyerang saya saat itu. Tapi yang terjadi bukan sebuah diskusi seru, dokter senior itu bahkan bilang dengan santainya,"ndak usah percaya apa kata internet, isinya orang ngapusi semua." #waduh. Akhirnya saya dengan sabarnya menunggu saatnya sembuh tanpa pengen diskusi dengan bekal informasi "ngapusi" dari internet #xixi

Dokter tidak Kompeten 
Selain manajemen RS yang bagus serta peranan interaksi antara dokter dan pasien yang sangatlah penting untuk membangun kepercayaan, masalah kompetensi dari tenaga medis juga memegang peranan yang tidak kalah penting. Hal ini bisa kita lihat dari orang yang lebih suka langsung ke dokter spesialis ketika mau konsultasi dibanding ke dokter umum. Orang juga cenderung mencari dokter yang cess pleng, langsung sembuh. Masalah kompetensi ini sangat mudah kita buktikan, ketika dengan gampang dan percaya kita mau buka baju di hadapan dokter. Bagaimana coba kalau saya yang minta seorang gadis untuk buka baju di depan saya..? Bisa dikepruk langsung keluar bintang-bintang seketika.. #meringis

Mungkin masih banyak lagi pertimbangan pasien untuk memilih tenaga medis maupun RS yang akan dikunjungi. Tapi sepertinya cerita di atas sudah terlalu panjang lebar. Jadi saya cukupkan sekian. Kasihan istri kalau terlalu panjang dan lebih kasian lagi buat suami kalau terlalu lebar #ehh #nyengir  

Salam,
HUM


Monday, November 16, 2015

Pahlawan Kemalaman

BY HUM IN , No comments


"Pahlawan" secara etimologi berasal dari bahasa Sanskerta "phala-wan" yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani.

Pada bulan November ini berturut-turut ada momen yang menggugah semangat kepahlawanan yang telah lama tersimpan di dalam dada ini. Begitu bergeloranya semangat yang membuncah di dalam dada ini sehingga mau tidak mau mesti saya keluarkan dengan penuh heroik lewat tulisan ini. Kita coba simak bersama, ya..

Dengan diiringi hentakan suara melengking Axl Rose melantunkan lagu fenomenal "November Rain", hujan yang menyejukkan mengawali hadirnya bulan November yang ceria ini. Siraman air hujan yang begitu dinantikan terasa masuk menyentuh ke dalam relung jiwa ini..segar..nyess rasanya. Hujan inilah yang dinanti-nanti juga oleh saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan sana yang sedang prihatin dengan bencana asap yang melanda. Momen ini juga lah yang membuat saya kembali semakin bersyukur masih dikarunia sehat dan bisa meghirup udara segar yang masih gratis ini. Allahumma shoyyiban nafi’an..Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat. Aamiin...

Momen berikutnya tentu saja adalah tanggal 10 november, Hari Pahlawan. Suasana heroik ala Bung Tomo menjadi trending topik di media sosial. Disusul berikutnya tanggal 12 November sebagai hari Ayah. Dan tidak terasa saat ini saya sudah menjadi seorang Ayah dari tiga bocah lucu yang setiap hari menghiasi warna-warni hidup ini. Dan tanggal 12 November 10 tahun yang lalu persis bertepatan dengan hari jadi ketika dua kasih bertemu untuk memadu janji sehidup saja tapi tidak semati, karena akan terasa konyol kalau kita ditagih janjinya saat sudah mati, trus siapa yang mau nagih coba?

Dan hari ini, tepat tanggal 16 November merupakan hari yang sangat bersejarah buat bangsa ini, sayangnya belum sempat menjadi catatan dalam hari besar nasional untuk merayakannya. Padahal di negeri tetangga sana dijadikan sebagai hari libur nasional ketika sang pemipin bangsanya berulang tahun. Yup, tanggal 16 November ini salah seorang pemimpin bangsa ini merayakan ulang tahunnya. Saya bilang salah seorang pemimpin bangsa karena tentunya bangsa ini terdiri dari jutaan orang sebagai warga negara dan salah satunya saya yang tercatat dalam lembar Kartu Keluarga merupakan Kepala Keluarga, pemimpin bagi keluarga kecil tercinta dengan seorang istri yang cantik #sesuai request dan tiga anak lucu yang soleh dan solehah. Sungguh merupakan sebuah anugerah terindah dari yang Maha Kuasa.

Kalau kita dengar kata "Pahlawan", sebuah arti yang positif langsung menyeruak di dalamnya. Tapi bagaimana jadinya kalau kata tadi kita tambah menjadi "Pahlawan Kesiangan"? Sebuah istilah dengan konotasi yang negatif. Masih menurut KBI, "Pahlawan Kesiangan" mempunyai arti orang yg ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri pejuang. Lalu apa arti "Pahlawan Kemalaman"? Silahkan Anda nilai sendiri istilahnya positif atau negatif, tapi saya akan pakai istilah ini untuk menggambarkan diri saya secara positif, tentu saja untuk sebuah pencitraan, mumpung sedang trend.

Kenapa saya sebut Pahlawan Kemalaman? Secara harfiah menurut KBI tadi, tentunya saya ingin menjadi sosok pahlawan bagi keluarga, anak istri tercinta. Sosok yang gagah berani membela kebenaran dan menjadi contoh suri tauladan yang nyata bagi keluarga terutama untuk anak-anak. Secara harfiah juga, pahlawan satu ini ternyata sering harus pulang kemalaman sehingga kadang harus pulang dengan disambut temaramnya lampu teras dengan suara jangkrik yang berlomba bernyanyi. Masuk pintu gerbang kadang seperti maling profesional yang dengan sigap melompati pagar, kutak-katik mengeluarkan kunci cadangan dan pelan-pelan membuka pintu agar tidak mengeluarkan suara yang bisa membangunkan sosok-sosok mungil yang tengah terbuai dalam mimpi indahnya. Sungguh sebuah aksi perjuangan yang heroik dari seorang pahlawan.

Dalam suasana hening malam ditemani suara katak bersautan dari empang sebelah, seringkali saya coba menuangkan isi kepala ini ke dalam tulisan-tulisan yang sangat inspiratif, menurut penilaian saya sendiri tentunya dan minimal menginspirasi buat saya sendiri. Jangan menunggu inspirasi datang untuk menulis, tapi menulis lah maka inspirasi akan muncul dari tulisan kita. Sungguh inspiratif, bukan? Dan salah berapanya saya tidak tahu karena belum dinilai oleh bu guru, tulisan ini terposting di tengah malam ini menyambut pergantian usia yang sangat fenomenal ini. Sungguh fenomenal ketika saya ambil kamera hand phone mencoba selfie melihat ke atas, rambut seperti bulir padi yang mulai menguning. Satu persatu meranggas berguguran, bahkan rambut di lobang hidung tidak ketinggal ikut-ikutan berubah warna menyesuaikan, mimikri.

Biar berimbang tidak selalu melihat ke atas, baiklah saya coba lihat ke bawah. Tertegun ketika melihat gundukan di balik kaos lusuh yang saya pakai malam ini. "Ahh..anak-anak nggodain dengan memasukkan mainannya nih..", sejenak bergumam dalam hati sambil tangan menyusup ke dalam kaos. Ahh...ternyata gundukan lemak di perut yang bersaing dengan mamah-mamah muda yang telat tiga bulan. Musti lebih rajin gowes lagi nih untuk mengembalikan kondisi tubuh six pack yang dulu.....ya..yang dari dulu ada di angan-angan. Mimpii...!

Dan di malam bahagia yang sangat bersejarah ini, ucapan syukur alhamdulillah tidak hentinya saya sampaikan atas karunia-Nya. Karunia keluarga yang bahagia dengan sosok-sosok lucu yang hadir dengan canda tawa mewarnai dan juga sosok cantik yang menemani #sesuai request lagi. Meski kadang harus pulang kemalaman dan bangun kesiangan, pahlawan ini melakukan semuanya dengan tulus dan ikhlas. Kalau ada orang tua yang rela untuk berpuasa demi anak-anaknya kenyang makan, saya bukan lah orang itu.

Kalau ada orang tua yang rela kehujanan dan kepanasan dengan memberikan payung kepada anaknya, itu bukan saya. Saya akan memilih untuk makan kenyang bersama anak istri tercinta. Saya akan memilih untuk mencari payung lagi sehingga kita sama-sama tidak kehujanan dan kepanasan. Saya bukan orang yang rela mati berkoban untuk kebahagiaan keluarga, tapi saya adalah orang yang akan terus berjuang untuk hidup bersama keluarga tercinta, menikmati kebahagiaan bersama. Saya bukan orang yang rela kedinginan dengan memberikan selimut buat anak istri, tapi saya akan pinjam selimut tetangga siapa tahu lebih hangat.. #ehh

Tidak ada kata terlambat untuk menjadi seorang pahlawan bagi keluarga tercinta, meski menjadi seorang pahlawan kemalaman. Semoga bertambahnya usia di sisa umur ini membawa berkah dan kami sekeluarga senantiasa dalam lindungan-Nya. Aamiin..

Hepi b'day to me...salam gelap-gelapan dari Pahlawan Kemalaman.. *nyengir

Salam,
HUM


Monday, November 9, 2015

Maling Besar juga Pernah Kecil, kan?

BY HUM IN , No comments

Maling Besar Kecil (source: instagram @dhaniblitz)

"Tiga kasus koboi dlm semlm di wilayah cikarang jam 1.36 perampasan mobil jemputan karyawan dipintu jbbk korban luka bacok didada skrng di rs medika gombong .jam 2.36 perampasan sepeda motor dijbbk korban luka bacokan di tangan kanan bahkan celurit masih nancep ditangan.jam 3.52 usaha perampasan di indomart jl cagak spd mtr pelaku tertinggal di tkp."
Cuplikan tulisan di atas adalah pesan berantai tanpa editing dari group WhatsApp yang saya ikuti. Cukup miris dan jadi eneg perut ini ketika membaca dan membayangkan crita kronologis di atas. Kasus-kasus seperti di atas memang bukan hal baru dan mungkin sering kita dengar dan jumpai di lingkungan kita. Perampokan, penjambretan, begal dan kroni-kroninya yang disertai kekerasan bahkan penghilangan nyawa dari korbannya hampir menjadi sarapan pagi berita kriminal.

"Dari kejadian kehilangan innova teman saya di kedasih: Mobil sudah ditambahi kunci tambahan, berupa kunci setang 2. 1 ke dashboard 1 lagi ke rem." 
"Isunya ...mobil di dorong dorong dulu..." 
"Dan pagar gerbang jalan gemboknya sudah jebol, digantikan oleh tali pocong."
Beberapa komentar di atas muncul dari teman-teman di group tentang kasus pencurian sebuah mobil milik warga beberapa hari yang lalu. 

"Usaha pengamanan sudah maximum tapi masih jebol juga, jadi mesti gimana yah?" "Terus musti pasang kunci apa yg gabisa dibobol malinge?" 

Beberapa pertanyaan lanjutan mengisyaratkan kegalauan, warga mesti berbuat apa lagi untuk mengatasi kondisi ini. Salah satu member bahkan memberi penekanan lebih tentang kegalauannya.

"Maling itu ibaratnya elang. Kita. Saya loe loe juga ibaratnya anak ayam. Anak ayam gak punya ilmu elang. Bisa menciap ciap doang."

Trus kira-kira bagaimana solusinya. Diskusi di group berlanjut lagi dengan berbagai ide solusi untuk mengantisipasi hal ini.

"Pasang GPS. Di bejaan teh sok murugul", entah apa yang dimaksud teman satu ini soalnya saya roaming urusan bahasa Sunda, yang pasti pasang GPS :) 
"Banyak pengalaman tetangga saya ...dan teman saya dst ... Mobil melengkapi dg pengaman GPS.. 90persen mobil kembali", beliaunya menambahkan data empiris untuk memperkuat argumennya. Entah datanya diambil dari mana, yang penting ada angkanya.

Ada juga yang memberikan ide yang kreatif, "Cara mencegah kemalingan mobil ikuti cara mr.Bean... stir dicopot saja. simpan di kolong tempat tidur...😃" 
"Atau copot ban...? 😃" beliaunya menambahkan dengan ide jenius lainnya. 

Ide lain termasuk copot aki sampai dengan tidur di mobil mewarnai percakapan seru yang tiada ujung pangkal ini. 

Ada satu ide solusi yang cukup menggelitik saya yang ditawarkan dari salah satu member yang sudah pernah menginjakkan kaki di tanah suci bahkan berfoto dengan kostum sepedaan "CBC", sungguh menjiwai beliaunya. 

Solusi dari beliau adalah, "Kata ustadz solusinya.. perbanyak sedekah krn sedekah menghindari dri musibah dan marabahaya..."


Sebuah ide pendekatan secara religius yang ditanggapi semangat oleh member lain. 
"Setujuuuuuh...." 
"Super sekali.." 
Ditimpali juga oleh teman lain yang menguatkan, "Betul sekali om ***....kl segala cara pengamanan fisik sdh dilakukan....pamungkasnya pasrah pd Allah SWT dan perbanyak sedekah."

Sungguh religius ternyata group yang sering diskusi absurd ini. Disambung lagi oleh komentar member lain dengan solusi pendekatan ini. 
"Solusinya dengan menanamkan ilmu akhlak semenjak kecil sehingga menjadi anak yang sholeh..paham yang baik dan buruk...maling2 tadi pasti pernah kecil kan..?" 

Disamber oleh teman yang tinggi gedhe, "Nah.... ini salah satu bagian ajakan saya....duluuuuu.. Maling-maling besar itu tentu dulunya pernah kecil....

...yaitu maling maling kecil....", ternyata tambahan komentar yang absurd. 

Cukup panjang diskusi selanjutnya dengan bumbu sana-sini dan berkembang ngalor ngidul tanpa kesimpulan. Kemudian nyambung dengan diskusi lainnya yang bahkan nggak nyambung sama sekali. Benar-benar sebuah diskusi absurd dari group yang aneh.

Cukup! 
Tidak usah kita bahas ulah absurd para member yang aneh tadi, sudah terlalu panjang kalau harus copy paste satu-satu komentar mereka. Yang cukup menarik untuk kita simak adalah mengenai solusi yang terakhir tadi. Solusi pendekatan dari sisi moral dan agama yang dimulai semenjak dini. Apakah sudah telat? Hamil donk..#ehh... Tidak ada kata terlambat selama konsumsi pil KB Anda tidak lewat..uppss...

Stop! 
Kita lanjut diskusinya. Sudah telat kah? Sudah terlanjur? Sudah parah? Mustahil diperbaiki? Tentu tidak...!

Sama sekali tidak ada kata terlambat. Saat ini maling-maling tadi sudah besar, kita tidak tahu dulunya saat kecil seperti apa. Bisa jadi dulunya mereka anak-anak yang sopan santun atau memang berandalan dari semenjak ceprott..terlahir di muka bumi, tidak mungkin kalau yang ini. Anak-anak terlahir putih bersih tanpa embel-embel dosa warisan dari orang tuanya atau siapa pun.

Tapi yang bisa kita ambil sebagai insight-nya adalah bahwa tidak mudah membentuk sebuah moral pada setiap individu yang pada akhirnya merupakan cerminan dari mental bangsa ini. Bukan sebuah perkara mudah dan instan untuk membuat sebuah kultur budaya di masyarakat dan justru bahkan bisa sebaliknya, dengan sangat cepat untuk menghancurkannya.

Kultur budaya yang terbangun di masyarkat kira-kira siapa yang menciptakan? Tidak lain dan tidak bukan kita lah yang membangunnya. Jadi kalau saat ini diskusi di atas memperlihatkan kondisi masyarakat kita, maka itu adalah tanggung jawab kita bersama. Ada andil kita di dalamnya. Kita lah yang ikut menciptakannya, entah kita sadar atau tidak.

Jadi bagaimana solusinya. Solusinya cukup simple dan tidak perlu muluk-muluk. Cukup kita bangun dari hal yang kecil dari diri kita, keluarga kita, anak-anak kita. Berkembang lebih luas ke lingkungan sekitar kita, sejauh yang kita bisa jangkau untuk menebarkan energi positif. Bahkan dengan teknologi saat ini yang tiada batas kita bisa dengan segera dan saat itu juga menebarkan energi positif kepada lingkungan kita.

INGAT! 
Apa yang kita rasakan saat ini adalah hasil dari buah yang kita tanam sebelumnya, meski secara tidak langsung. Dan INGAT juga! apa yang kita lakukan saat ini juga akan membuahkan hasil kemudian, entah satu detik, satu minggu, satu bulan lagi atau satu tahun kemudian atau pun saat kita sudah tidak kuasa untuk menghitung lagi. Kebaikan itu akan selalu menyertai kita. 

Tidak perlu keluar Surat Edaran penebar kebencian, akan lebih baik jika diganti menjadi Surat Ajakan menebar kebaikan. Ingat lah bahwa kebaikan selalu lebih baik dari kejelekan. Tapi kalau wajah Anda jelek ya nggak usah berselfie ria trus langsung posting ke sosial media, jangan lupa untuk di-edit dulu. INGAT itu! *nyengir


Salam,
HUM

Friday, November 6, 2015

Hate Speech: I Miss You (Benci tapi Rindu)

BY HUM IN , No comments

Love & Hate Collide (source: flickr.com)

Ironis dan malu rasanya sebagai rakyat Indonesia ketika mendengar adanya surat edaran penebar kebencian yang bahasa kerennya Hate Speech ini. Sungguh ironis mengingat semboyan kita sebagai sebuah bangsa yang beradab, ramah tamah, ayem tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi, tapi muncul sebuah peraturan yang kontradiktif dengan semboyan tadi. Malu tentu saja karena saya merupakan bagian dari rakyat Indonesia tercinta ini.

Kalau melihat dari pengalaman yang ada, pembuatan sebuah undang-undang atau lebih umum kita sebut sebagai peraturan, entah itu di skala kecil dalam RT/RW, sekolah sampai dengan konteks kenegaraan, biasanya berawal dari sesuatu yang sudah terjadi. Sehingga peraturan lebih banyak dibuat sebagai corrective dibandingkan preventive action. Keberadaan surat edaran  Hate Speech ini juga bukan tiba-tiba munculnya, tapi dipicu oleh maraknya praktek penebar kebencian terutama di media sosial.

Pernah lihat tayangan televisi candid camera reality show Just For Laugh? Adegan demi adegan dengan setting di kota Quebec, Montreal dan Vancouver di Kanada ini membuat kita ikut tertawa. Skenario korban yang dikerjain oleh anggota polisi adalah salah satu menu utama selain skenario orang yang minta tolong di tempat umum. Coba bandingkan dengan tayangan serupa produksi dalam negeri misalnya Super Trap. Skenario kira-kira sama yaitu mengundang tawa dengan ngerjain sang korban. Tapi coba kita lihat perbedaan reaksi dari para korban. Respon lugu dan tulus ketika ada orang asing yang tak dikenal minta bantuan di tempat umum atau reaksi 'biasa' ketika kendaraan di-stop oleh polisi 'gadungan' bisa kita lihat di Just for Laugh. Dan tentu saja dengan ending tertawa lebar dari sang korban setelah tahu bahwa dirinya dikerjain. Berbeda sekali dengan reaksi para korban tayangan produksi lokal. Rasa curiga, cuek, khawatir atau bahkan ketakutan mewarnai setiap reaksi yang ada, meski di akhirnya tertawa juga walaupun agak asem.

Hal ini bukan tanpa sebab. Kultur budaya di masyarakat Indonesia saat ini tercermin di dalamnya. Iri rasanya melihat suasana orang-orang dan lingkungan yang menjadi setting acara komedi Just for Laugh tadi. Betapa nyamannya orang berjalan-jalan di tempat umum dan saling memberikan pertolongan kepada orang asing yang tidak dikenalnya. Polisi yang menghentikan kendaraan dan memeriksa surat-surat disikapi dengan biasa. Jauh beda dengan kondisi kita saat ini. Polisi di jalan seakan momok yang menakutkan bagi pengendara karena merasa akan dicari-cari kesalahannya atau memang kita yang melakukan pelanggaran. Orang tak dikenal menepuk bahu kita bisa jadi pakai ilmu gendam, hipnotis, mengambil barang berharga kita dengan dalih minta pertolongan. Dan hal ini nyata terjadi di masyarakat kita yang seharusnya ramah tamah, kekeluargaan, suka menolong dan semangat gotong royong. Ironis sekali bukan?

Kemunculan surat edaran  Hate Speech ini tambah menegaskan kondisi yang terjadi di negara ini. Mestinya tidak perlu ada sebuah undang-undang yang mengatur masalah kebencian ini jika slogan dan semboyan di atas menjadi manifestasi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana kalau kita rubah menjadi sebuah kampanye atau seruan untuk saling menyayangi dan menghormati?

Sepertinya kita lupa pernah melewati masa adem ayem tentrem saat masih muda dulu. Atau malah terlalu menjiwai gelora jiwa muda yang penuh nafsu membara, sehingga berharap bahwa kebencian akan berubah menjadi sebuah kerinduan? Mudah-mudahan menjadi kenyataan apa yang dilantunkan oleh artis senior Diana Nasution: Benci tapi Rindu. Ahh..sudahlah... *music

Bukan hanya sekedar penghibur
Diriku ini sayang
Bukan pula sekedar pelepas
Rindumu oh sayang
Sakit hatiku
Kau buat begini

Kau datang dan pergi
Sesuka hatimu
Oh... kejamnya dikau
Teganya dikau padaku

Kau pergi dan datang
Sesuka hatimu Oh...
sakitnya hati
Bencinya hati padamu

Sakitnya hati ini
Namun aku rindu
Bencinya hati ini
Tapi aku rindu

Salam,
HUM