Saturday, March 24, 2012

Bike to Work : (Mati Gaya) Pertamax Tanpa Subsidi

BY HUM IN , , No comments


Senin pagi suasana begitu cerah. Udara segar terasa sejuk masuk ke rongga paru-paru. Bak seorang atlet profesional, lengkap dengan helm dan kostum warna-warni, tidak ketinggalan kacamata berwarna kemilau layaknya kaca film mobil, Paijo dengan santai mengayuh pedal sepeda gunungnya. Logo emblem ‘bike to work’ menggelantung berayun di bawah sadel sepedanya.


Start your engine...(Doc : Pribadi)
Ya..sudah seminggu terkahir ini Paijo rutin pulang pergi kerja dengan sepeda barunya. Ini berawal dari kejadian seminggu yang lalu.

“Bune, konco-konco kantor itu punya rencana mbikin club sepeda lho..! nama club-nya apik tenan lho..’BTW Coy..!’, artine Bike to Work Community. Bener-bener keren…top..apik tenan to, Bune..?” Paijo membuka intro percakapan dengan istri tercintanya yang dari tadi terlihat manyun, mikirin harga sembako yang kian membumbung tinggi.
“Trus maksudnya apa to, Pakne…? Mau pengen beli sepeda baru gitu, piye..?” sambil bersungut tambah dua centimeter bibirnya.
“Lha mbok pake’ sepedane Thole sing BMX itu kan yo bisa to..?” istrinya nambahin.
“Walah Bune, yo gak keren…apa kata dunia..ehh…konco-konco nanti, kepala bagian logistic kok beli sepeda aja gak bisa.”
“Lagian ini kan sebagai program penghematan juga, Bune. Kalo’ tiap hari pulang pergi kerja naik sepeda kan bisa irit. BBM buat mobil kita kan bisa berkurang, denger to kalo’ bulan ngarep mau naik lagi tu hargane? trus satu lagi nilai tambah yang tidak kalah penting, sambil olahraga, badan sehat dan mengurangi polusi udara. Bune tau efek rumah kaca..? global warming..?” Paijo memperkuat argumennya demi mendapatkan kucuran dana pembelian sepeda barunya.

“Yo wis karepmu, Pakne. Global warming opo Gombal amoh nggak mudeng, yang penting berarti uang belanja bisa nambah, Thole dapat uang saku lebih banyak buat nabung,to..?” Istrinya yang tontonan tiap harinya cuma sinetron  dan gossip selebrity menimpali omongan Paijo.

“Kalau dihitung-hitung, jarak rumah dan kantor tempat kerja hampir 10 km. Konsumsi rata-rata BBM 1 liter tiap 10 km, artinya pulang pergi 2 liter. Harga bensin subsidi 6 ribu (kalo’ jadi naik), lha wong harga minyak dunia kan naik jadi ikut naik…turun..ikut turun..(lha kok senengnya cumin ikut-ikutan ya.?) Kalo’ harga dunia naik trus kita bisa bertahan…itu baru keputusan yang top markotop..tak iye..:)
 Jadi dengan naik sepeda kan lebih irit 12 ribu, lumayan buat tambahan uang saku Thole.” Batin Paijo mencoba membuat kalkulasi, dia kan kerjaanya bagian pengadaan barang, biasa itung-itungan buat nawar harga.

Rupanya Paijo sedikit membuat kesalahan kecil dengan melupakan side effect dari bersepeda. Karena tidak terbiasa bersepeda, alhasil keringat bercucuran, capek dan lapar. Sampai tempat kerja harus menyempatkan diri mengunjungi kantin, sarapan lagi. Kebiasaan Paijo mentraktir teman-temannya menambah bengkak budget hariannya. Alhasil minimal 20 ribu dia keluarkan. “Yang penting olahraga, badan sehat” Paijo masih mencoba buat rasionalisasi.
Pagi itu seperti biasa sehabis mampir sarapan di kantin, anggota BTW Coy lagi ngumpul.
“OK, hari sabtu nanti BTW Coy jadi ‘Jungle Tracking’, segera buat poster yang besar, pasti banyak anggota baru yang tertarik.” Waskito, ketua umum BTW Coy ,mengakhiri meeting singkat di kantin.

@@@@@@

 Minggu pagi, istri Paijo dengan bibir nambah 2 centi ngomel melihat suaminya masih meringkuk di ranjang. Yang diomelin cuman bisa meringis menahan pegal-pegal diseluruh badan. Ini hasil dari ‘Jungle Tracking’ kemarin. Seluruh badan Paijo terasa remuk redam. Track yang diambil memang tidak cocok bagi pemula seperti Paijo. Jalan naik turun terjal menanjak dengan jarak tidak kurang 40 km membuat anggota baru BTW Coy ini tumbang. Gengsi dan rasa malu dengan anggota yang lain membuat Paijo masih bisa sampai garis finish.
“Bune, aku tak keluar dulu sebentar ya, mau pijat, badan pegal semua.” Paijo pamitan ke istrinya sambil manasin mesin mobil yang usianya hampir 10 tahun tapi masih cukup kinclong terawat, hasil jerih payahnya bekerja.
Memang sebenarnya Paijo itu tipe orang yang rajin, ulet dan cukup jujur walaupun kadang dibodohin teman-temannya. Sebetulnya banyak tawaran dari supplier untuk sekedar mengganti mobil tuanya dengan mobil keluaran terbaru asal tender mereka gol, maklum Paijo kan cukup berpengaruh sebagai kepala bagian logistic. Tapi entah kenapa Paijo selalu menolaknya.
Paijo menepikan mobilnya di depan bangunan dua lantai yang cukup bagus. Di depan terpampang box neon warna biru ‘Java Dunia – Shiatsu & Sauna’. Dua resepsionis cantik menyambut Paijo dengan senyum ramahnya.
“Selamat pagi, Pak. Silahkan mau yang paket Lux atau VIP..?” mbak resepsionis senyum sumringah.
“Apa aja deh Mbak, yang penting pegel ilang.”
“Wah, nggak usah khawatir Pak, therapist di sini professional semua, dijamin deh, Pak.” si mbak yang satu menimpali.

Suasana ruangan cukup membuat Paijo relaks. Ranjang cukup empuk dengan cetakan lubang buat kepala menelungkup. Dua lembar handuk putih tebal tertata rapi di tepi ranjang. Kamar mandi dengan bath up dan shower berada di sudut kamar. AC dingin dan music yang mengalun ringan membuat suasana ruangan dengan lampu temaram itu sedikit menghilangkan pegal di badan Paijo.
“Thok..thok..!!” Paijo bergegas membuka pintu. Seorang gadis yang cukup cantik berdiri di depan pintu. Kaos hitam ketat membungkus badannya, rok mini yang juga berwarna hitam tidak sanggup menutupi pahanya yang cukup mulus. Rambut terurai sebahu dengan lesung pipit menambah cerah senyum yang merekah dari sepasang bibir merah muda dengan sebaris gigi kecil-kecil putih bersih di depan Paijo.
“Boleh masuk, Pak? Saya therapist-nya.” Kata gadis tadi sambil mengangkat baki kecil berisi cream dan lotion, melihat Paijo yang tertegun di depan pintu dengan mulut sedikit menganga.
Paijo jadi mati gaya sesaat, dia buka baju dan langsung menelungkup di ranjang. Siap dipijat.
“Dibuka semua saja pakaiannya, Pak. Nanti kotor kena cream gimana?”
“Tapi…Mbak..”
“Nggak papa, Pak. Kenapa harus malu, kan cuman ada kita berdua di sini” si gadis membuat Paijo sekali lagi mati gaya.
 

@@@@@@

 “Pakne, kenapa musti manggil Mbah Siyem dukun pijat bayi kampung sebelah segala sih..! bukannya barusan habis pijat..?” istri Paijo dengan bibir 2 setengah centi-nya nyerocos.
“Walah Bune, pijatnya nggak jadi. Ban mobil tadi malah kempes, tambah pegel nih badan ganti ban serep.” Paijo buat alasan ke istrinya. “Waduh, kalo’ tau kejadian tadi bisa perang teluk nih di rumah. Badan pegal nggak hilang, lemes mah iya..” batin Paijo mengingat kejadian di Java Dunia tadi.
“Den Paijo memang habis nyangkul tegalan kulon ndeso apa, kok nggak biasanya pegel-pegel minta pijet..?” tanya Mbah Siyem sambil memainkan jemarinya yang mulai keriput di betis Paijo.
“Kok nyangkul to, Mbah? Kan ada si Parjo. Ini tuh critane kemarin kan habis sepeda santai sama konco-konco kantor, Mbah.” Paijo sewot dikira habis nyangkul tegalan.
“Lha wong sepeda santai kok malah pegel-pegel to, Den Paijo. Kudune kan jadi sehat, ya to.?”
 “Ya begitu, Mbah. Kepengennya olahraga biar sehat lha kok ya konco-konco itu milih jalur sepeda-an jauh…naik turun...arep copot rasane dengkule, Mbah..!” Paijo malah jadi curhat ke Mbah Siyem.
“Kalo’ naik sepeda jangan sering-sering lho, Den Paijo.”
“Lho, emang kenapa Mbah..?”
“Bisa turun berok nanti, Den.., lha kan Den Paijo dah ada mobil, enak..nggak perlu tenaga.” Kata Mbah Siyem sambil sedikit termenung. Perlahan ingatan pada suaminya terlintas di benak Mbah Siyem. Kondisi  yang serba susah memaksa dia harus bekerja serabutan demi menghidupi keluarga. Dia masih ingat, dulu tiap hari suaminya harus pulang pergi kerja naik sepeda. Bukan seperti alasan Paijo untuk berolahraga, tapi memang itu satu-satunya sarana transportasi yang bisa mengantarkannya sampai ke pasar tempat dia jadi buruh panggul tanpa megeluarkan biaya selain tetesan keringat. Jarak pasar kota cukup jauh membuat suami Mbah Siyem sering mengeluh sakit bagian bawah perut. Demi menghidupi keluarga semua keluhan tidak dirasakan, tangisan lapar anak-anaknya yang berjumlah empat orang seakan jadi obat paling mujarab penghilang rasa nyerinya.


Mbah Siyem mengakhiri pijatannya dengan pelan, takut membangunkan Paijo yang rupanya terlelap keenakan oleh pijitan Mbah Siyem, mungkin juga sedang mimpi dipijat gadis Java Dunia.
 

@@@@@@

 “Pak Paijo, kalo’ kali ini beneran sepeda santai, jadi musti ikut. Saya catat di daftar peserta ya, Pak?” Waskito menyambut Paijo saat sarapan pagi di kantin. Hari minggu besok ada acara ulang tahun kabupaten. Akan diadakan parade sepeda santai dan pertunjukan kesenian serta bazaar di pendopo kabupaten. Pak Bupati sendiri yang akan memimpin rombongan sepeda santai.
Paijo tertawa lebar sambil melepas kacamatanya yang berkilau saat sampai di garis finish. “Nah, ini baru namanya sepeda santai, tidak bikin badan pegal.”

@@@@@@

Suara music dangdut mengalun dari panggung di depan pendopo kabupaten. Spanduk besar terpampang di atasnya “Bike to Work : StopGlobal Warming”. Berbagai slogan lain bertebaran di sekeliling panggung, “Save Our Planet”, “Let’s Go Green”, “Irit BBM” dan bahkan issunya grup band “Efek rumah kaca” bakal manggung di situ.

Di lapangan belakang pendopo digelar bazaar dengan tenda-tenda yang bertebaran di sekeliling lapangan. Suasanya begitu meriah. Sebuah stand tampak dipenuhi pengunjung. Sebuah distributor resmi merek sepeda terkenal rupanya ikut ambil bagian pada acara kali ini. Berbagai macam jenis sepeda dipajang di situ. Dengan iming-iming harga murah dan diskon untuk 100 orang pertama, bahkan dapat hadiah langsung, membuat pengunjung berjubel. Seorang pejabat kabupaten terlihat  sedang mencoba mengangkat sepeda yang baru dibelinya. Sepeda yang katanya kuat tapi seringan kapas karena terbuat dari material super alloy itu ditebusnya seharga 25 juta. Katanya buat anaknya ke sekolah daripada tiap hari harus tergantung si Dalimin, tetangganya yang tukang ojek, untuk nganterin. Diiringi decak kagum orang sekelilingnya dia minta anaknya mencoba sepeda barunya. Dengan malu-malu si anak berbisik ke telinga ayahnya, “Pa, aku kan belum bisa naik sepeda. Besok aja minta diajarin Mas Dalimin.”

Orang-orang tiba-tiba ramai berlarian dan saling berebutan. Ternyata di salah satu stand sedang ada pembagian biscuit dan makanan kecil gratis. Situasi bener-bener kacau. Saling berebut, saling dorong, saling lempar, anak-anak kecil menjerit keinjak-injak. Suatu pemandangan yang sering kita lihat di televisi saat pembagian sembako gratis. Salah satu sifat dasar manusia yang serakah terlihat di sana. Bagaimana dengan segala cara berusaha mendapatkan apa yang diinginkan dengan cara menjegal, mendorong atau pun menginjak temannya. Sungguh liar…
Sementara di panggung tampak semakin panas juga, sesuai dengan tema Global Warming. Bukan hanya karena memang sudah semakin siang sehingga panas matahari mulai membakar, tapi aksi panggung sang biduanita lah yang menambah panas. Sepertinya si penyanyi tahu persis bagaimana cara mengaktualisasikan diri untuk meresapi makna Global Warming. Itu dibuktikan dengan pemlihan kostum yang serba mini, membuat industry tekstil mengurangi pasokan bahan baku pembuatan pakaian, hemat.

Paijo berdiri tertegun di samping sepedanya, melihat sekelilingnya yang tiba-tiba terasa semakin panas. Sayup-sayup terdengar sang biduanita berteriak nyaring ke penonton “Goyang terus, Mas…Tambah Bensinnya Mas…Pertamax....Stop Global Warming…!!”

 

It's All About Bicycle


0 comments:

Post a Comment